CUCU ANGLING DHARMA YANG JADI JAKSA

DIDIK FARKHAN ALISYAHDI SH.MH.
Saat itu ia berpikir, ilmu hukum ia perdalami secara formal di fakultas, sementara ilmu jurnalis akan ia “serap” secara informal dengan aktif di Pers mahasiswa. Makanya sambil kuliah ia aktif di majalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang bernama MANIFEST. Di Majalah MANIFEST pertama ia  menjadi reporter. Tahun kedua naik jadi anggota Dewan Redaksi, kemudian Pemimpin Redaksi hingga terakhir menjelang lulus ia menjabat “pimpinan” puncak sebagai Pemimpin Umum.
Pasca lulus kuliah, 1993 ia masih tetap konsisten dengan cita-citanya pengin jadi Wartawan. Dengan bekal ilmu formal, sebagai Sarjana Hukum dan ilmu non formal jurnalistik ia melamar di koran harian Jawa Pos Group.  Setelah proses tes, ia diterima sebagai Calon Reporter dan ditempatkan di wilayah Kabupaten Bojonegoro, daerah  tempat kelahirannya. Cita-citanya menjadi Wartawanpun terkabul. Dalam evaluasi calon reporter ia sempat dinyatakan pengirim berita dan foto terbanyak. “Maklum di Bojonegoro pas terjadi banjir besar, sehingga berita dan fotonya banyak dimuat,”kelakar pria yang hobby main Tenis dan golf itu.
Satu tahun ia sempat “menikmati” kehidupan menjadi Wartawan. Hingga suatu ketika, 1994 atas permintaan Ayahnya Alm H. Chozin Mabruri, agar ia mencoba ikut tes Calon Jaksa di Jakarta. Permintaan orang tuanya itu ternyata telah mengubah jalan hidupnya kelak. Setelah melalui 7 tahap tes, ia diterima sebagai Calon Jaksa, dan harus “mengubur” impiannya berkarier di dunia jurnalistik. Ia harus meninggalkan profesi lama yang gajinya lebih besar dibanding calon pegawai negeri sipil. “Saat di wartawan gaji saya sudah 250 ribu, menjadi Calon pegawai hanya Rp 100 ribu,”terangnya
Sejak 1994, ia akhirnya merentas karir di Kejaksaan.  Diangkat pertama sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil dan Calon Jaksa di Kejaksaan Negeri Bojonegoro. Saat dinas di Kejari Bojonegoro itulah ia bertemu dengan istrinya, Ery Yeniantiningtyas yang saat itu juga berstatus pegawai baru di BRI Cabang Bojonegoro. “Maklum kantor Kejaksaan dan BRI hanya dipisah rumah dinas ketua PN Bojonegoro. Jadi memungkinkan Saya bisa melirik dan memilih pegawai BRI yang paling cantik,”ujarnya tertawa.
Kemudian September 1997, ia dipanggil untuk mengikuti Pendidikan Pembentukan Jaksa (PPJ) di Pusdiklat Kejaksaan Ragunan selama 6 bulan. Tetapi sebelum berangkat, tepatnya 31 Agustus 1997 ia memutuskan untuk menikah lebih dahulu. Ia selalu ingat tanggal pernikahannya karena bebarengan meninggalnya Lady Diana yang menghebohkan dunia saat itu. “Jadi saat mengikuti pendidikan Jaksa selama 6 bulan, saya berstatus pengantin baru. Pusing juga harus pisah,”guraunya.
Selepas pendidikan, 20 Maret 1998 ia resmi dilantik menjadi Jaksa. Biasanya kebijakan Jaksa Agung, sebagai Jaksa baru, yang berasal dari Pulau Jawa ditempatkan diluar Jawa. Tetapi saat itu keberuntungan berpihak kepadanya. Anggaran untuk uang perjalanan dinas (uang pindah) di Kejaksaan Agung habis, hingga semua Jaksa baru dikembalikan ke tempat asalnya masing-masing. Menunggu anggaran tahun depan. Beruntunglah ia, sebagai pengantin baru ia bisa “bersatu” lagi dengan istrinya di Bojonegoro.
Saat di Bojonegoro ini, anak pertamanya Diffaryza Zaki Rahman lahir pada 21 Agustus 1999. Kemudian sampai pada penghujung tahun 2000, saat istrinya mengandung anak kedua datang SK mutasi. Ia dipromosikan sebagai Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Martapura, Kalimantan Selatan. Terpaksa ia harus pisah lagi dengan keluarga. Karena sang istri masih di BRI Bojonegoro.
Namun dibalik kesedihan berpisah dengan keluarga, ia bisa mengambil hikmah dengan bisa melanjutkan kuliah Magister Hukum di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Dan saat ia masih di Kejari Martapura itu anak keduanya, Farryntya Noor Sabrina lahir di Bojonegoro, 28 September 2001. “Nama Sabrina itu saya pilih untuk anak kedua karena saat itu saya harus menjalani kehidupan dengan sabar saat pisah keluarga,”tuturnya.

DUA KALI TUNTUT MATI
Di Kejari Martapura ia jalani selama 2 tahun. Namun di kota yang juga dijuluki serambi Mekah itu banyak kejadian dan peristiwa yang tidak mungkin terlupakan sepanjang karirnya menjadi Jaksa. “Saat di Martapura itu saya dua kali menuntut mati terdakwa dalam kasus pembunuhan. Pertama terhadap terdakwa Fajri, mahasiswa semester akhir yang tega membunuh adik kelasnya dengan 17 tusukan. Kedua kepada terdakwa Adul, yang telah merampas sepeda motor dan membunuh pemiliknya dengan cara dimutilasi,”jelasnya.
Saat di Martapura itu juga ia sempat melakukan penyidikan perkara korupsi di Dinas Pendidikan. Pemimpin Proyek pembangunan SD dan kontraktornya ia jadikan tersangka atas penyelewengan bestek pembangunan SD. Banyak bahan bangunan tidak sesuai RAB (Rencana Anggaran Biaya), Sehingga ada SD yang baru dibangun ambruk.  Saat melakukan penyidikan itu ia selalu didukung masyarakat setempat. Ia  memang sehari-hari berbaur dengan masyarakat. Imbasnya ia dapat belajar dan fasih bahasa Banjar sampai saat ini.
Awal tahun 2003, ia “ditarik” ke Jawa Timur. Tepatnya sebagai Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus di Kejaksaan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang. Ia Kasi Pidsus pertama di Kepanjen sejak dibentuk Kejari tersendiri pisah dari Kejaksaan Negeri Malang.  Saat di Kepanjen itu ia sempat “memenjarakan” Sueb Bani Ismail dan Poniran –pensiunan TNI AU—yang mendirikan koperasi. Karena menyelewengkan dana KUT sebesar Rp 2 Milyar. Saat di Kepanjen pula, Juli 2003  ia “sekolah” Diklat PIM III di Pusdiklat Ragunan. Sebagai peserta termuda, hingga di Pusdiklat ia panggil –si bayi tabung— oleh teman sekelasnya termasuk Amri Satta, wakil Kajati Sumut saat ini.
Belum genap satu tahun di Kepanjen, penggemar olahraga Tenis dan golf itu dipindah lagi masih di Jawa Timur. Tepatnya sebagai Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejaksaan Negeri Tanjung Perak, Surabaya. Saat di Tanjung Perak ini, anak ketiganya Farryzki Noor Thoriq lahir pada 26 Mei 2004. Di Kejari yang perkara pidumnya terpadat kedua di Jawa Timur ia melaksanakan tugas selama 2 tahun pas. Sebab ia dilantik tanggal 23 Nopember 2003, meninggalkan Tanjung Perak juga bulan Nopember 2005 saat ia dilantik sebagai Kepala Seksi Pra Penuntutan (Kasi Pratut) pada Aspidum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

JAKSA KASUS PEMBUNUHAN MUNIR
Bagai Kabayan saba Kota. Ia mulai menapak karir di Ibukota. Perkara berskala nasional dan internasional yang disidik penyidik Polda Metro Jaya dan Mabes Polri semua “mampir” di mejanya. Saat itu perkara dari Mabes Polri belum diserahkan ke Jaksa di JAM Pidum Kejaksaan Agung. Sebagai Kasi Pra Penuntutan ia harus ikut bertanggung jawab meneliti berkas perkara.  Apakah semua berkas perkara itu sudah lengkap secara formil maupun materiilnya untuk dapat disidangkan ke Pengadilan. Ia sebagai palang pintu penelitian berkas perkara
Ia sendiri sempat menangani dan menyidangkan Peninjauan Kembali (PK) kasus pembunuhan Munir dengan terdakwa Polycarpus. Juga sebagai salah satu Jaksa yang menangani terdakwa mantan Direktur Utama Garuda Indra Setiawan dan sekretaris Rohainil Aini yang didakwa terlibat dalam kasus pembunuhan Munir. Kemudian perkara aktor Roy Martin jilid I saat nyabu dan perkara mantan ketua MPR Zainal Maarif yang didakwa mencemarkan nama baik Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono karena menuduh presiden sudah kawin saat masuk AKABRI.
Setelah 2 tahun 5 bulan sebagai Kasi Pra Penuntutan, akhirnya ia kembali masuk Jawa Timur. Sebagai Kepala Seksi Ekonomi dan Moneter (Ekmon) di Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Awal Maret 2008 ia dilantik. Saat menjabat Kasi Ekmon itu ia sempat memenjarakan ketua Yayasan pensiunan pegawai PT Garam, Sumenep Drs Munir Syam, MM karena menjual aset PT Garam senilai Rp 38 Milyar. Ia sebagai ketua tim penyidikan. Kemudian juga berhasil menyidik kasus Dana Bantuan Sosial Bupati Bojonegoro Drs Santoso yang telah menyelewengkan dana Bansos sebesar Rp 3,5 Milyar hingga ke Pengadilan.
Pada Nopember 2008 saat ia dan istri sedang wukuf di padang Arofah, ia mendapat kabar bila dirinya dimutasi lagi masuk ke Kejaksaan Agung. Tepatnya di Biro Kepegawaian menjadi Kepala Sub Bagian pengadaan Pegawai. Dengan masuk bidang pembinaan lengkap sudah semua unit kerja di Kejaksaan pernah “dipegangnya”. Mulai bidang Datun saat Capeg, bidang Intelijen, Pidana Khusus, Pidana umum dan pembinaan. Ibarat orientasi medan ia sudah mengenal kelima “areal” bidang di Kejaksaan.
Sebagai Kasubbag Pengadaan Pegawai ia menjabat selama 2 tahun 9 bulan. Karena, sejak tanggal 8 September 2011 ia dilantik promosi eselon III menjadi Koordinator bidang Intelijen Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Berarti ia “balik kucing” ke Kejati DKI Jakarta. Sampai penghujung tahun, tepatnya 21 Desember 2011 ia terima SK pengangkatan sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Sangatta, Kalimantan Timur. Saat menerima kabar SK terakhir ini yang paling membuat ia terharu.
 Apa pasal? Ternyata saat ia menerima kabar adanya SK sebagai Kajari Sangatta itu  persis saat keluarga besarnya di Bojonegoro sedang menyelenggarakan Haul 1000 hari meninggalnya alm Ayahnya H. Chozin Mabruri. “Setelah mendapat kabar itu tak terasa saya menangis teringat Almarhum. Karena dulu Beliau lah dan Ibu saya yang mendorong dan membujuk saya ikut tes Kejaksaan, meski semula saya ngotot pengin tetap jadi Wartawan,”kenangnya.
Menurut Didik, kedua orang tuanya, Almarhum H. Chozin Mabruri dan Hj Asri’ah memang Pegawai Negeri minded. Semua anaknya,  7 orang “disemangati” dan didorong melamar menjadi PNS.  Kalau mau melamar ke swasta, “digiring” lagi uspaya masuk PNS. Alhasil semua keinginan kedua ortunya jadi kenyataan. Saudara Didik, kakak pertama, Hamida Hayati, SE begitu lulus FE Universitas Negeri Jember masuk BRI. Kakak kedua Dra. Nurul Azizah, MM Seorang Camat perempuan di Bojonegoro.
Sementara, Didik adalah anak ketiga. Adiknya, Elfia Nuraini, Spt.Mpt salah satu Kabid di Dinas peternakan Bojoneoro. Anak kelima, dr. Ulfa Kholili, Spd adalah dosen di Fakultas Kedokteran Unair, anak keenam Erna Zulaikha, alumni FT ITS sekarang juga “gabung” di Pemda Bojonegoro di Dinas Lingkungan. “Terakhir adik saya, Helmi Ali Fikri, SSTP disarankan masuk STPDN  dan sekarang dinas di Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, padahal dulu sudah masuk Teknik sipil Unibraw,” terang Didik         (Tim)

PERJALANAN KARIR
1993 – 1994 :  Wartawan harian Memo Jawa Pos Group Surabaya
1994 – 1995 :  Calon Pegawai Negeri Sipil dan Calon Jaksa di Datun Kejari Bojonegoro.
1995 – 1997 :  Staf bidang Intelijen Kejari Bojonegoro.
1997 – 1998 :  Pendidikan pembentukan Jaksa
1998 – 2000 :  Kasubsi Politik pada Seksi Intelijen Kejari Bojonegoro
2000 – 2002 :  Kepala Seksi Intelijen Kejari Martapura, Kalimantan Selatan
2002 – 2003 :  Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Kepanjen, Kabupaten Malang.
2003 – 2005 :  Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Tanjung Perak, Surabaya.
2005 – 2008 :  Kepala Seksi Pra Penuntutan pada Aspidum Kejati DKI Jakarta.
2008 – 2009 :  Kepala Seksi Ekonomi dan Moneter pada Asisten Intelijen Kejati Jatim
2009 – 2011 :  Kepala Sub Bagian Pengadaan Pegawai Biro Kepegawaian Kejaksaan Agung
2011 – 2012 :  Koordinator Intelijen Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
2012 –          :  Kepala Kejaksaan Negeri Sangatta, Kalimanta Timur.

DIDIK ITU NAMA TAMBAHAN
 Ia terlahir di Bojonegoro, 18 Oktober 1971 dengan nama Farkhan Alisyahdi. Tanpa ada nama depan Didik. Konon, nama Farkhan Alisyahdi itu diberikan Alm Ayahnya sebagai rasa syukur karena per 1 Oktober 1971 ayahnya diangkat menjadi pegawai negeri di Departemen Agama. Kata Farkhan dalam bahasa Arab artinya gembira, kemudian Ali itu bisa diartikan pemimpin, Sah diartikan resmi dan Di artinya Negara. Sehingga kalau digabung artinya saat itu Ayahnya Gembira karena resmi menjadi abdi negara.
Lantas sejak kapan nama depannya ada nama Didik? Ia menjawab sejak masuk SD tahun 1977. Menurut anak ketiga dari tujuh bersaudara itu ada kisah uniknya. Saat itu, ia masuk kelas 1 SDN Sumbertlaseh II, Kec. Dander, Kab. Bojonegoro tanpa melalui TK. Dan ia masuk SD tanpa pernah didaftarkan oleh orang tuanya. Karena umurnya baru 5 tahun. Ia masuk sekolah sendiri, karena ikut-ikutan kedua Kakak perempuannya yang sekolah di tempat itu.
Karena tidak pernah didaftarkan, maka oleh guru dalam rapor ditulis saja namanya Didik. Sesuai nama panggilan sehari-harinya di sekolah. Ia sejak kecil memang dipanggil Didik, yang berasal dari akhiran namanya Alisyahdi. Baru setelah terima rapor dan naik kelas 2, orang tuanya baru “datang” ke sekolah, meminta agar Didik jangan dinaikkan kelas 2. Karena ia paling kecil sendiri, dan “meralat” namanya dalam rapor salah, bukan Didik. Tapi Farkhan Alisyahdi.
Apa boleh dikata. Gurunya tetap ngotot Didik dinaikkan kelas 2. Alasannya meski paling kecil ia ranking 1 di SD yang terletak sebelah selatan dari kota Bojonegoro itu. Soal nama, Gurunya memberi solusi bagaimana karena sudah terlanjur ditulis nama Didik dalam rapor, bagimana kalau nama aslinya di tulis dibelakangnya Didik. Deal. Sepakat. Akhirnya nama dalam rapor ditulis menjadi Didik Farkhan Alisyahdi. Itulah nama lengkap yang “resmi” hingga sekarang.
Lho, lantas bagaimana perbedaan nama itu dengan nama di akte kelahiran? Alumni Magister Hukum dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin itu dengan tertawa menjawab, “Saya tidak mempunyai akta kelahiran saat lahir. Akta kelahiran saya baru dibuat saat mau masuk kuliah, 1989. Itupun dibuat karena “terpaksa”, adanya ketentuan wajib melampirkan akta kelahiran saat pendaftaran ulang. Jadi nama di akta kelahiran sudah disesuaikan menjadi Didik Farkhan Alisyahdi,”ujar Bapak 3 anak itu.
Adanya penambahan nama Didik, terang mantan Aktivis HMI di Malang itu yang membuat dirinya merasa “hoki”  menjadi Jaksa. Tanpa ada penambahan nama Didik oleh guru SD belum tentu dirinya bakal menjadi Jaksa. “Kalau nama saya tetap Farkhan Alisyahdi, mungkin saya tidak menjadi Jaksa. Kemungkinan besar saya menjadi presenter,’katanya tergelak sambil menyebut nama Farkhan, sang presenter kondang. (Tim)





Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PERJALANAN PAK JAKSA

MENGENAL SEKILAS SANG KETUA